PD.RIFA'IYAH KENDAL- Sekitar akhir abad ke-18
di jazirah Arabia terjadi perkembangan penting bagi agama Islam. Pada waktu itu
di sana berlangsung dialog yang sangat intensif antara orientasi keagaaman di
satu pihak dengan tuntutan akan pemukiman ajaran yang ditawarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1791) di pihak yang
lain. Dialog yang pernah memaksa kekuatan tentara Turki turun tangan itu
melahirkan tradisi keilmuan yang baru yakni penegasan kembali otoritas fiqih
atas aspek-aspek lain dari kehidupan beragama
Islam.
Tradisi keilmuan baru yang berkembang dari pusat
penyebaran Islam itu bergema ke berbagai wilayah Islam Afrika Utara dan India.
Indoneisa pun tak luput dari pengaruh kecenderungan otoritas fiqih itu melalui
para jemaat haji yang biasanya pulang dari Tanah suci. Adalah tanah Minangkabau
yang pertama kali mencatat datangnya pengaruh gerakan pemurnian yang dipelopori
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab. Pengaruh itu datang setelah tiga orang haji,
yakni Haji Miskin, Haji Plobang dan Haji Sumanik
pulang dari Mekah. Bersama Tuanku Nan Rencah serta
Peto Syarif (Imam Bonjol) dan beberapa tokoh lainnya, mereka
mencetuskan gerakan pembaharuan yang bertujuan membersihkan agama dari hal-hal
yang mereka yakini menyimpang dari kemurnian Islam. Gerakan Haji Miskin
menghadapi perlawanan dari kekuatan kegamaan lama yang telah jalin- menjalin
menjadi sistem adat. Benturan antara gerakan pembaharuan dengan kekuatan kaum
adat meningkat menjadi silang-sengketa berdarah. Kaum paderi, yakni sebutan
bagi kelompok pembaharuan, merebut pusat kerajaan di Pagaruyung pada tahun
1809. Kaum adat yang merasa terdesak mengundang campur tangan pemerintah
kolonial Paderi yang berlangsung dari 1822 hingga 1837.
Dalam perang ini kaum Paderi kalah sehingga secara
politis gerakan pembaharuan yang dipimpin Haji Miskin tak memperoleh kemajuan.
Namun sebagai kekuatan baru di bidang pemikiran agama, pengaruhnya terus
berkembang dan dilanjutkan oleh generasi berikut yang dikenal sebagai gerakan
kaum muda pada awal abad ke-20.
Bukan hanya di Minangkabau, di Jawa pun terjadi proses
baru dalam pendalaman ilmu-ilmu agama Islam karena banyaknya santri yang
belajar langsung ke Mekah. Maka tradisi kekiaian baru muncul, yakni dari
lingkungan mereka yang memeriksa kembali pendalaman ilmu-ilmu keagamaan yang
sudah cukup lama berjalan di pesantren untuk ditata di bawah kewibawaan fiqih
dan peralatannya. Pada periode ini tampillah ulama-ulama fiqih dari Jawa
lulusan Mekah, diantaranya Kiai Khalil Bangkalan Madura; Kiai Nawawi, Banten; dan Kiai Ahmad (Muhammad) Rifa’i,
Kalisalak Pekalongan. Ketua ulama Jawi itu belajar di Mekah dalam
kurun waktu yang sama dan konon pernah membuat kesepakatan menerjemahkan
Alqur’an dan kitab-kitab fiqih dalam bahasa Jawa. Mereka berpendapat
penerjemahan itu sangat penting demi mempercepat ilmu-ilmu agama Islam bagi
pemeluk yang berbahasa Jawa.
Dari ketiga ulama tersebut, Kiai Ahmad Rifa’i adalah yang paling produktif. Tak kurang
dari 52 kitab meliputi bidang fiqh, tasauf dan ushuluddin ditulisnya dalam
bahasa Jawa dan menggunakan huruf pegon. Dan
dari kitab-kitab yabg ditulisnya itu jelas sekali kecintaan Kiai Ahmad Rifa’I
terhadap fiqh. Bahkan ada catatan yang menyebut kecintaan itu sudah ada sebelum
Ahmad Rifa’ naik haji ke Mekah dan bermukim selama 8 tahun di sana. Karena
kecenderungannya terhadap salah satu aspek Islam ini, Ahmad Rifa’I pernah
dituduh oleh Penghulu (Qadhi) Kendal. Karena tuduhan itu Ahmada Rifa’I
masuk penjara dan keluar tak lama kemudian setelah terbukti tuduhan terhadap
dirinya tidak benar.
Anak Tempuran
Kiai Ahmad Rifa’i lahir pada 1787 atau 1200 H, di
desa Tempuran, Kendal yang waktu itu berada dalam wilayah Kabupaten Semarang.
Ayahnya adalah Kiai Muhammad Marhum
yang menjabat sebagai penghulu dan kakeknya adalah Kiai Abisuja’ alias Raden
Sucawijaya. Karena ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i masih kecil, maka dia
kemudian diasuh oleh seorang kakak iparnya, Kiai Asy’ari dari Kaliwungu.
Pada usia 30 tahun Ahmad Rifa’i berangkat menunaikan
ibdah haji dan bermukim di tanah suci selama 8 tahun.dalam catatan lain pemuda
asal Kendal itu kemudian meneruskan pelajaran di Mesir selama 12 tahun. Selama
bermukim di Mekah Ahmad Rifa’I belajar berbagai ilmu agama kepada Syekh Abdul
Aziz Al Jaisyi dan Syaikh Ahmad Utsman.
Ketika pulang kembali ke kampung halaman, Ahmad Rifa’I
mendapati istrinya telah meninggal dunia. Dan seseorang menawarkan kepadanya
janda Demang Kalisalak, Mertowijoyo, untuk dinikahinya. Ahmad Rifa’I menerima
tawaran itu dan dia kemudian menetap bersama istrinya yang baru di Kalisalak.
Menurut pengakuan Ahmad Rifa’i sendiri, dia sudah tidak menemukan lagi famili
di Kendal.
Di Kalisalak pada awalnya Ahmad Rifa’i
menyelenggarakan pengajian buat anak-anak, namun lembaga itu kemudian
berkembang menjadi majlis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa,
baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu hal yang membuat pengajian Ahmad
Rifa’I cepat masyhur adalah metode terjemahnya. Baik Alquran maupun kitab-kitab
karya para ulama Arab lebih dulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum
diajarkan kepada para murid. Cara demikian bahkan kelihatan sebagai kewajiban
yang ditempuhnya secara sadar seperti tersirat dalam salah satu bait dalam
kitab Abyanal Hawaij karya Kiai Ahmad Rifa’I :
Wajib atas saben alim-alim nuliyanNerjemah kitab Arab rinetenSupaya wong Njawa akeh ngerti pituturSaking Quran lan kitab Arab jujurKaduwe wong awam ngambi ilmu milahurDadio setengahe padha dadi kufur
Artinya :
Wajib bagi setiap manusia alim-adil (ulama)
Menerjemahkan dan menguraikan kitab-kitab berbahasa
Arab
Agar orang Jawa mudah mengerti tentang
Ajaran dari Alquran serta kitab-kitab yang benar
(mu’tabar)
Bagi orang-orang awam yang hendak menimba ilmu,
walaupun sebagian mereka mungkin malah jadi kufur (setelah mengerti tetang yang
hak, namun kemudian menolaknya).
Karena metodenya yang mengena, maka pengajian Kiai
Ahmad Rifa’I cepat berkembang. Para pengikutnya bukan hanya datang dari daerah
yang dekat seperti Batang dan Pekalongan, melainkan juga dari Wonosobo,
Magelang dan Banyumas. Dan intensitas pengajaran fiqh yang dijalankan oleh Kiai
Ahmad Rifa’I kemudian membawa ulama Kalisalak itu kepada masalah perbedaan
antara tradisi yang telah mapan dengan pemikiran baru yang sedang
dikembangkannya. Tradisi yang mapan dalam hal ini terwakili oleh figur-figur
penghulu yang diangkat dan karenanya bekerja untuk pemerintah penajahan.
Dalam pembukaan kitab Takhyirah, Kiai Ahmad Rifa’I
menyebutkan bahwa ajarannya bermazhab Syafi’I dan berpegang kepada hakekat
Ahlussunah. Dalam hal taukhid Kiai Ahmad Rifa’I berpedoman kepada Imam Asy’ari
dan Imam Abu Mansur Ma’turidi, sedangkan dalam tasauf dia mengikuti Imam
Junaidi Albaghdadi. Sementara itu, dapat diyakini para penghulu di daerah
Pekalongan dan sekitarnya pun saat itu adalah ulama-ulama yang bermadzhab
Syafi’i pula. Dengan demikian di manakah perbedaan di antara Kiai Ahmad Rifa’i
dan para penghulu itu ?
Oleh : agus
Nahrowi
- See more
at: http://tanbihun.com/sejarah/profil-ulama/mengenal-kh-ahmad-rifai
0 comments